Sebagai seorang yang beriman, tentu merindukan seorang pemimpin yang beriman. Pemimpin adalah bagian yang tak dapat dipisah – pisahkan dari diri kita.
Karena, pemimpin yang akan
mengarahkan, memandu, dan membimbing kita, pengaruhnya kita rasakan secara
langsung dalam memberikan perubahan kehidupan keseharian kita. Sehingga,
pemimpin tersebut tidak saja legal secara konstitusional, pula legitimate, dan dicintai
rakyatnya.
Dan Kami jadikan diantara mereka
itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika
mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini (membenarkan) ayat-ayat Kami (QS. As Sajdah (32) : 24).
Dalam Al Quran, Allah SWT telah
menjelaskan kepada kita karakteristik pemimpin yang ideal. Yaitu pemimpin yang
adil, kasih sayang, dan mencintai kita. Pemimpin yang dapat diteladani
keilmuannya, ketakwaannya, pengabdiannya (khidmahnya).
Pemimpin
yang menomorsatukan kepentingan yang dipimpin, dan menomor duakan kepentingan
diri, keluarga, dan golongannya. Karena, ia sudah menjadi milik umat.
Bukan saja milik keluarga dan kabilahnya.
Ketika
Allah menjelaskan proses pengangkatan nabi Yusuf as sebagai bendahara Mesir,
Allah menjelaskan bagaimana Qithfir Al ‘Aziz memuji Yusuf.
Raja
berkata:
Bawalah
Yusuf kepadaku. Aku akan jadikan dia penasihat khusus untuk diriku. Maka
tatkala raja itu berbicara kepada Yusuf, Raja berkata : Mulai hari ini engkau
menjadi orang yang memiliki kedudukan lagi terpercaya di sisi kami. Yusuf
berkata : Jadikanlah aku pengelola harta kekayaan negara. Sesungguhnya aku
orang yang sangat pandai untuk mengelola, lagi sangat luas pengetahuanku (QS. Yusuf (12) : 54-55).
Merujuk
ayat di atas, kita memahami empat kriteria yang sepatutnya melekat dalam
struktur kepribadian seorang pemimpin. Dengan keempat karakter tersebut, Yusuf
menjadi pemimpin yang ideal. Menggabungkan mutu komitmen dan kompetensi.
Demikian
pula karakter pemimpin para malaikat (Jibril) yang Allah amanahi menyampaikan
wahyu kepada para rasul-Nya, karakter Jibril yang dipuji oleh Allah dalam Al
Quran.
Sesungguhnya
Al Quran itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia
(Jibril). Yang memiliki kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah,
mempunyai ‘arsy yang ditaati disana di alam malaikat lagi amanah (dapat
dipercaya). (QS. At
Takwir (19) : 21).
Jibril
memiliki karakter yang sempurna, sehingga Allah menunjuknya untuk mengemban
tugas paling berat, mengantarkan wahyu kepada utusan Allah yang ada di muka
bumi ini. Dan seperti itulah selayaknya pemimpin yang menjadi wakil bagi
rakyatnya. Bukan DPR (Dewan Perwakilan Rupiah), tetapi DPR (Dewan Perwakilan
Ruhiyah) bagi rakyatnya. Dia sosok yang terhormat, bukan manusia rendahan. Memiliki
kemampuan dan profesionalitas. Dan amanah dalam mengemban tugas.
Tentu
saja, untuk memiliki pemimpin dengan karakter yang sangat ideal bukan
pekerjaan instan. Melahirkan pemimpin terkait dengan amaliyyatud tadayyun (proses keberagamaan) kita. Dan, proses
interaksi dengan agama kita sebanding dengan ‘amaliyyatut
ta’allum (proses
pembelajaran) yang berlangsung secara berkesinambungan.
Jadi,
untuk menyiapkan pemimpin yang merupakan foto
copy diri kita, tergantung
kesiapan kita untuk diproses, ditarbiyah, ditakwin, menuju insan yang shalih
bagi setiap tempat dan masa sesuai dengan karakteristik dinul Islam itu
sendiri.
Kelahiran
seorang pemimpin terkait langsung dengan kualitas keberagamaan kita. Jika kita
adalah sosok minal muttaqin, minal mukminin, minal mujahidin, minal muqarrabin, minash shalihin, minal muhsinin, maka seperti
itulah pemimpin yang akan kita lahirkan.
Sebaliknya,
jika kita tidak memiliki keterikatan yang kuat (komitmen) terhadap nilai-nilai manhaj(wahyu), kita jangan
kaget jika Allah SWT mengirimkan pemimpin yang fasiq, diktator, di
tengah-tengah komunitas kita.
Demikianlah
Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim menjadi pemimpin bagi sebagian
yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan (QS. Al An’am (6) : 129).
Kita
meyakini, tidak ada kejadian yang kecil dan besar, diam dan gerak, muncul dan
tenggelam, maju dan mundur, naik dan turun, termasuk pengangkatan seorang
pemimpin, kecuali dalam pengaturan, izin, dan restu Allah SWT. Tidak
semata-mata peristiwa alam (thabii, natural).
Katakanlah:
Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebaikan (QS. Ali Imran (3) : 26).
Surat Al
Anam ayat 129 di atas kita bisa memperoleh pelajaran fundamental bahwa diantara
hukuman Allah kepada orang yang zhalim (menganiaya diri sendiri) adalah Allah
menunjuk orang zhalim lain yang menguasainya. Si zalim pertama akan mendapatkan
kezhaliman dari sosok zalim kedua.
Ketika
kita ikhlas, sabar dalam mentarbiyah, mentazkiyah diri, keluarga, masyarakat,
dengan amar bil ma’ruf dan nahi
‘anil mungkar, maka Allah akan mengirimkan pemimpin yang baik. Ketika
masyarakat berbuat zalim, melakukan maksiat, menjauhi syariat, maka yang akan
memimpin kita adalah orang yang menindas kita, sebagai hukuman atas perbuatan
kita.
Selama
ini, kita selalu menuntut agar pejabat, kalangan elitis (qiyadah), agar menjadi
pemimpin yang adil dan bijaksana. Kita sering mengangkat hadits: Jihad
tertinggi adalah kalimat yang haq di sisi sulthan yang zalim (jair).
Tetapi,
kita seringkali mengabaikan muhasabah, muraqabah, terhadap diri kita sendiri.
Sudahkah kita menjadi sosok yang shalih, mukmin, mujahid? Jika kita belum
menjadi alat peraga Al Quran yang berjalan di medan kehidupan, mengapa kita
menuntut kelahiran pemimpin yang Qur’ani?.
Kita
harus berpikir realistis, bahwa pemimpin yang hadir di tengah-tengah kita adalah
lukisan dari kepribadian kita. Janganlah kita seperti kaum Khawarij yang selalu
menuntut dan mengkritik Ali bin Abi Thalib. Mengapa pemerintahan kalian tidak
seperti pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khathab ?.
Ali bin
Abi Thalib menjawab:
Karena
pada zaman Abu Bakar dan Umar, yang menjadi rakyat adalah aku, dan orang-orang
yang sepadan denganku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang
semisalmu (Syarh Riyadhush Shalihin, Ibnu Utsaimin).
Para
ulama mengatakan :
اعمالكم
اعمالكم كما تكونوا يولي عليكم
Amal
perbuatan kalian sejenis dengan pemimpin kalian. Sebagaimana karakter kalian,
seperti itulah model kepemimpinan yang akan mengendalikan kalian.
Ibnul
Qayyim Al Jauziyah pernah menjelaskan pentingnya memperbaiki diri, jika kita
berharap memiliki pemimpin yang baik.
وتأمل
حكمته تعالى فى أن جعل ملوك العباد
وأمراءهم
ووﻻتهم من جنس أعمالهم ظهرت
فى
صوروﻻتهم وملوكهم فان استقاموا استقامت
ملوكهم
وان عدلوا عدلت عليهم وان جاروا جارت ملوكهم
Renungkanlah
hikmah Allah. Dia jadikan pemimpin bagi para hamba-Nya, sejenis dengan amal dan
prilaku hamba-Nya. Bahkan seolah-olah amal mereka berwujud seperti pemimpin
mereka. Mereka istiqomah dalam kebaikan, pemimpin mereka akan istiqomah.
Sebaliknya,
ketika mereka menyimpang, maka pemimpin mereka pun menyimpang. Ketika mereka
berbuat zalim, pemimpin mereka juga akan berbuat zalim (Miftah Darus Sa’adah hal. 253).
Ada
seorang ulama mantan pemimpin para begal, Fudhail bin ‘Iyadh, beliau memberikan
contoh kepada kita tentang pentingnya mendoakan kebaikan bagi pemimpin.
Kata
Fuadhil: Seandainya saya
memiliki satu doa yang mustajabah, maka saya tidak akan menggunakannya kecuali
untuk kebaikan pemimpin. */Ali Mu'afi
USTADZ SHOLIH HASYIM
·
penulis adalah
anggota Dewan Syura Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar