- Terlepas dari berbagai kekurangan (namanya manusia) , diakui ataupun tidak , khususnya di Aceh, Wahabi memiliki kontribusi besar dalam memajukan pendidikan di Aceh.
Ribuan umat
Islam laksanakan shalat subuh berjamaah dengan diimami imam masjidil
haram,Syeikh Adil Al Kabani dilanjutkan tausiyah di halaman Mapolda aceh ,
Banda Aceh , Ahad (1/3/2015).
Terlepas dari berbagai kekurangan (namanya manusia), diakui atau pun tidak, khususnya di Aceh, Wahabi memiliki kontribusi besar dalam memajukan pendidikan di Aceh.
Tidak
seperti isu-isu lain yang hilang ditelan zaman, tapi isu tentang Wahabi
(Wahabisme/Wahabiyah) terus menggelinding mengikut alur masa.
Nampaknya, sebelum dunia ini kiamat, topik tentang Wahabi tidak
akan pernah mati dan bahkan akan terus menyita perhatian kaum muslimin dari dua
kutub yang saling bertentangan.
Di satu pihak, Wahabiyah dianggap sebagai gerakan pemurnian
agama paling sukses di panggung sejarah – yang di beberapa wilayah telah
berhasil mengembalikan ajaran Islam ke dalam bentuk aslinya. Namun di pihak
lain, gerakan Wahabi justru dianggap sebagai petaka yang telah merusak tradisi
nenek moyang. Dalam perkembangan selanjutnya, ramai pula pihak-pihak yang menghubungkaitan
Wahabi dengan ektrimisme dan terorisme. Terlepas di kutub mana kita
berdiri, tapi yang jelas isu Wahabi telah membuat kita saling bertegang urat
saraf sesama kaum muslimin. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
memperingatkan kita bahwa kaum muslimin itu bagaikan tubuh yang satu, di mana
ketika satu bagian tubuh merasa sakit, bagian lain juga ikut merasakan
kesakitan itu. Namun yang terjadi hari ini, jauh panggang dari api, tanpa
sengaja kita telah terjebak dalam skenario devide et impera yang dilancarkan
oleh kaum kafirin.
Dalam beberapa literatur, di antaranya sebagaimana disebut oleh
Ruray, bahwa stigma Wahabi adalah istilah yang digunakan oleh penjajah Inggris
untuk menamakan ‘Gerakan Mujahidin’ di Deoband India.
Oleh sebagian pihak, Wahabi sering dicitrakan sebagai penentang
adat istiadat sehingga istilah Wahabi menjadi momok yang menakutkan. Bahkan,
tragisnya lagi, oleh sebagian kalangan, Wahabi telah dianggap sebagai golongan
di luar Ahlus Sunnah Waljama’ah. Padahal jika ditelisik secara objektif, Wahabi
juga bagian dari Ahlus Sunnah Waljama’ah, sama halnya dengan Asy’ariyah dan
Maturidiyah, meskipun terdapat perbedaan yang ketat di beberapa sisi. Dalam hal
teologi, banyak terdapat persamaan antara Wahabi (tepatnya baca Salafy) dengan
pendapat-pendapat Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Demikian pula dalam bidang fiqh,
umumnya Wahabi lebih dekat kepada Mazhab Hanbali, cuma saja, mereka tidak
mengikatkan diri dengan mazhab-mazhab yang ada. Tapi, jika dicermati,
pendapat-pendapat Salafiy “tidak pernah keluar” dari pusaran empat “Mazhab
Mu’tabar”. Wallahu A’lam.
Aceh dan Wahabi
Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia sebenarnya juga
telah “akrab” dengan dengan Wahabi. Pada masa-masa pergerakan kemerdekaan, di
Aceh telah berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang diketuai oleh
Teungku Muhammad Daud Beureu-eh.
Secara idiologis, jika teliti dengan cermat, pemikiran keagamaan
PUSA memiliki banyak kesamaan (untuk tidak menyebut identik) dengan
pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab di
Saudi Arabiya pada abad ke 18.
Bahkan, berdasarkan riset yang pernah dilakukan oleh Djami’ah
IAIN Ar-Raniry sekira tahun 70-an, disebutkan bahwa Tgk. Hasballah Indrapuri,
seorang ulama di Aceh Besar menggunakan Kitab Tauhid karangan Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab dalam mengajarkan tauhid kepada umat.
Bahkan, di Aceh banyak ulama-ulama, khususnya di masa lampau
yang pemikiran keagamaannya “serumpun” dengan pemikiran Salafiy, sebut saja
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie yang buku-bukunya masih dibaca
sampai sekarang.
Uniknya lagi, ramai tokoh-tokoh Aceh di masa pergerakan
kemerdekaan yang konsep keagamaannya serupa dengan Wahabi (Salafiy). Dan bahkan
organisasi PUSA yang merupakan organisasi besar di Aceh kala itu, mayoritas
anggotanya adalah “Wahabi”.
Terlepas dari berbagai kekurangan (namanya manusia), diakui atau
pun tidak, khususnya di Aceh, Wahabi memiliki kontribusi besar dalam memajukan
pendidikan di Aceh, khususnya pendidikan modern. Didirikannya Al-Muslim di
Aceh, tepatnya di Kota Matangglumpangdua, yang pada perkembangan selanjutnya
telah melahirkan sekolah-sekolah modern, sekolah tinggi dan universitas,
merupakan bukti paling otentik bahwa Wahabi punya “pengaruh besar” kala itu.
Pengaruh Wahabi baru “meredup” di Aceh pada era 90-an, di mana –
seiring dengan populernya Gerakan Aceh Merdeka, “hegemoni” gerakan tradisional
semakin kuat di Aceh.
Demikianlah guliran sejarah yang tak bisa dihalau.
Timbul-tenggelamnya suatu gerakan pemikiran dalam pentas sejarah adalah lumrah
saja. Tapi, narasi di atas setidaknya bisa mengingatkan kita bahwa Wahabi
bukanlah istilah baru di Aceh.
Suka tidak suka, senang tidak senang, Wahabi telah mengukir
prestasi gemilang di masa lalu, khususnya di awal-awal kemerdekaan. Beberapa
tokoh besar di Indonesia, semisal HOS Cokroaminoto, Muhammad Natsir, Ahmad
Dahlan, Hamka dan sederetan nama-nama besar lainnya, tentunya tidak bisa
dipisahkan dari pengaruh Wahabi (meskipun tidak selamanya identik).
Demikian pula di Aceh, terkenal nama di antaranya, Teungku Daud
Beureu-eh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Teungku Hasballah Indrapuri,
Ayah Hamid Namploh, Ali Hasyimi, Husen Al-Mujahid, M. Nur El-Ibrahimy dan
sejumlah nama lainnya yang tidak mungkin semuanya disenaraikan dalam tulisan ini,
adalah tokoh-tokoh yang (dalam banyak hal) tidak bisa dipisahkan dari pemikiran
Wahabi.
0 komentar:
Posting Komentar