Sistem pendidikan yang terlalu fokus kepada kurikulum, biasanya
tidak pernah memuaskan masyarakat. Sebab, jika ada keluhan mengenai pendidikan,
maka telunjuk langsung mengarah pada kurikulum sebagai biang keroknya.
Bahkan, jika orang-orang yang dihasilkan
dari pendidikan tersebut memiliki perilaku tidak selaras dengan
kebijakan pemerintah, arah tuduhannya tetap kepada kurikulum.
Untuk mengatasi persolan ini kita perlu
mengubah strategi pendidikan. Kita harus kembali kepada strategi pendidikan
yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (SAW).
Memang, ada banyak strategi pendidikan
yang bisa kita terapkan. Namun, semua itu memiliki konsekuensi. Strategi
pendidikan yang memprioritaskan pada kualitas intelektual, misalnya, cenderung
bersifat kognitif dan mengabaikan sisi afektif.
Adapun sistem pendidikan yang
diterapkan Rasulullah SAW bersifat menyeluruh. Secara kongkrit, output
pendidikan Rasulullah SAW memiliki jati diri, yaitu manusia yang berideologi.
Lantas, apa yang menjadi fokus garapan
Departemen Pendidikan Hidayatullah?
Apakah diarahkan untuk menjawab ketertinggalan intelektual, menyajikan konsep
pendidikan integral, atau sistem pendidikan Rasulullah SAW dalam format
kekinian?
Jika Hidayatullah
ingin mengacu pada format pendidikan Rasulullah SAW, lalu bagaimana
modelnya? Bagaimana pula implementasinya ?
Sistem pendidikan adalah alat
transformasi nilai yang akan diserap oleh anak didik. Di Hidayatullah, transformasi nilai tersebut bisa dilakukan secara klasikal
atau non-klasikal, kooperatif, atau non-kooperatif.
Namun, yang menjadi fokus perhatian bukan
persoalan teknis tersebut, melainkan bagaimana pendidik memahami konsep dasar
pendidikan menurut manhaj Hidayatullah.
Manhaj ini sudah dikenal dengan istilah Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW).
Pesan inti dari SNW adalah bagaimana
melahirkan insan bertauhid dan mampu mewujudkannya lewat organisasi
imamah-jamaah. Produk dari sistem pendidikan
Hidayatullah adalah SDM yang memiliki visi hidup berjamaah.
Atas dasar itu, pendidikan di Hidayatullah berbasis pada penanaman
nilai–nilai keimanan (akidah/tauhid) yang akan menjadi bekal anak didik untuk
menuntut ilmu yang lebih luas, yaitu pendidikan di masyarakat kelak.
Konsekuensinya, guru atau pendidik di Hidayatullah harus lebih menguasai
konsep dasar (manhaj) ini secara detail sekaligus modal untuk mencerahkan
masyarakat.
Pada zaman jahiliah sebelum Islam turun di
Makkah, ajaran materialisme sangat mendominasi semua sektor kehidupan. Harga
diri seseorang diukur dari seberapa banyak ia memiliki harta. SNW
memberikan alternatif yang jauh lebih baik dari itu.
Semakin terdidik suatu masyarakat, semakin
banyak faktor yang dijadikan pertimbangan dalam memilih lembaga pendidikan.
Sebaliknya, semakin awam masyarakat, semakin sederhana ia mempertimbangkannya.
Mayoritas masyarakat modern dalam memahami
pendidikan sangat memperhatikan faktor–faktor berikut: (1) siapa
mendidik siapa, (2) masyarakat yang mana, (3) kapan dan di mana, (4) untuk
posisi apa peserta didik itu dididik.
Sistem pendidikan sekolah merupakan
mekanisme alokasi posisional. Yakni, masyarakat memberi mandat kepada pihak
sekolah untuk membina anggotanya agar kelak bisa menempati posisi–posisi
tertentu.
Adapun sistem pendidikan Rasulullah
SAW bertujuan memenuhi kebutuhan SDM sebagai cikal bakal eksisnya masyarakat
Qur`ani. Itulah substansi kampus pendidikan yang alamiah, ilmiah, dan Islamiah.
Sekali lagi, model dan metodologi pendidikan
adalah faktor teknis. Yang lebih penting bagaimana model dan jati diri out put
pendidikan di masa depan. SDM yang dihasilkan dari proses pendidikan di Hidayatullah hendaknya mampu menjadi
pemimpin yang berideologi (ideolog leader). *
0 komentar:
Posting Komentar