Kamis, 26 Maret 2015

Aceh dan Wahabi , Sebuah Wacana Menarik [1]



  • Terlepas dari berbagai kekurangan (namanya manusia) , diakui ataupun tidak , khususnya di Aceh, Wahabi memiliki kontribusi besar dalam memajukan pendidikan di Aceh.




Ribuan umat  Islam laksanakan shalat subuh berjamaah dengan diimami imam masjidil haram,Syeikh Adil Al Kabani dilanjutkan tausiyah di halaman Mapolda aceh , Banda Aceh , Ahad (1/3/2015).





Terlepas dari berbagai kekurangan (namanya manusia), diakui atau pun tidak, khususnya di Aceh, Wahabi memiliki kontribusi besar dalam memajukan pendidikan di Aceh.


Tidak seperti isu-isu lain yang hilang ditelan zaman, tapi isu tentang Wahabi (Wahabisme/Wahabiyah) terus menggelinding mengikut alur masa.
Nampaknya, sebelum dunia ini kiamat, topik tentang Wahabi tidak akan pernah mati dan bahkan akan terus menyita perhatian kaum muslimin dari dua kutub yang saling bertentangan.
Di satu pihak, Wahabiyah dianggap sebagai gerakan pemurnian agama paling sukses di panggung sejarah – yang di beberapa wilayah telah berhasil mengembalikan ajaran Islam ke dalam bentuk aslinya. Namun di pihak lain, gerakan Wahabi justru dianggap sebagai petaka yang telah merusak tradisi nenek moyang. Dalam perkembangan selanjutnya, ramai pula pihak-pihak yang menghubungkaitan Wahabi dengan ektrimisme dan terorisme.  Terlepas di kutub mana kita berdiri, tapi yang jelas isu Wahabi telah membuat kita saling bertegang urat saraf sesama kaum muslimin. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa kaum muslimin itu bagaikan tubuh yang satu, di mana ketika satu bagian tubuh merasa sakit, bagian lain juga ikut merasakan kesakitan itu. Namun yang terjadi hari ini, jauh panggang dari api, tanpa sengaja kita telah terjebak dalam skenario devide et impera yang dilancarkan oleh kaum kafirin.
Dalam beberapa literatur, di antaranya sebagaimana disebut oleh Ruray, bahwa stigma Wahabi adalah istilah yang digunakan oleh penjajah Inggris untuk menamakan ‘Gerakan Mujahidin’ di Deoband India.
Oleh sebagian pihak, Wahabi sering dicitrakan sebagai penentang adat istiadat sehingga istilah Wahabi menjadi momok yang menakutkan. Bahkan, tragisnya lagi, oleh sebagian kalangan, Wahabi telah dianggap sebagai golongan di luar Ahlus Sunnah Waljama’ah. Padahal jika ditelisik secara objektif, Wahabi juga bagian dari Ahlus Sunnah Waljama’ah, sama halnya dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah, meskipun terdapat perbedaan yang ketat di beberapa sisi. Dalam hal teologi, banyak terdapat persamaan antara Wahabi (tepatnya baca Salafy) dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Demikian pula dalam bidang fiqh, umumnya Wahabi lebih dekat kepada Mazhab Hanbali, cuma saja, mereka tidak mengikatkan diri dengan mazhab-mazhab yang ada. Tapi, jika dicermati, pendapat-pendapat Salafiy “tidak pernah keluar” dari pusaran empat “Mazhab Mu’tabar”. Wallahu A’lam.
Aceh dan Wahabi
Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia sebenarnya juga telah “akrab” dengan dengan Wahabi. Pada masa-masa pergerakan kemerdekaan, di Aceh telah berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Teungku Muhammad Daud Beureu-eh.
Secara idiologis, jika teliti dengan cermat, pemikiran keagamaan PUSA memiliki banyak kesamaan (untuk tidak menyebut identik) dengan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya pada abad ke 18.
Bahkan, berdasarkan riset yang pernah dilakukan oleh Djami’ah IAIN Ar-Raniry sekira tahun 70-an, disebutkan bahwa Tgk. Hasballah Indrapuri, seorang ulama di Aceh Besar menggunakan Kitab Tauhid karangan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam mengajarkan tauhid kepada umat.
Bahkan, di Aceh banyak ulama-ulama, khususnya di masa lampau yang pemikiran keagamaannya “serumpun” dengan pemikiran Salafiy, sebut saja Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie yang buku-bukunya masih dibaca sampai sekarang.
Uniknya lagi, ramai tokoh-tokoh Aceh di masa pergerakan kemerdekaan yang konsep keagamaannya serupa dengan Wahabi (Salafiy). Dan bahkan organisasi PUSA yang merupakan organisasi besar di Aceh kala itu, mayoritas anggotanya adalah “Wahabi”.
Terlepas dari berbagai kekurangan (namanya manusia), diakui atau pun tidak, khususnya di Aceh, Wahabi memiliki kontribusi besar dalam memajukan pendidikan di Aceh, khususnya pendidikan modern. Didirikannya Al-Muslim di Aceh, tepatnya di Kota Matangglumpangdua, yang pada perkembangan selanjutnya telah melahirkan sekolah-sekolah modern, sekolah tinggi dan universitas, merupakan bukti paling otentik bahwa Wahabi punya “pengaruh besar” kala itu.
Pengaruh Wahabi baru “meredup” di Aceh pada era 90-an, di mana – seiring dengan populernya Gerakan Aceh Merdeka, “hegemoni” gerakan tradisional semakin kuat di Aceh.
Demikianlah guliran sejarah yang tak bisa dihalau. Timbul-tenggelamnya suatu gerakan pemikiran dalam pentas sejarah adalah lumrah saja. Tapi, narasi di atas setidaknya bisa mengingatkan kita bahwa Wahabi bukanlah istilah baru di Aceh.
Suka tidak suka, senang tidak senang, Wahabi telah mengukir prestasi gemilang di masa lalu, khususnya di awal-awal kemerdekaan. Beberapa tokoh besar di Indonesia, semisal HOS Cokroaminoto, Muhammad Natsir, Ahmad Dahlan, Hamka dan sederetan nama-nama besar lainnya, tentunya tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Wahabi (meskipun tidak selamanya identik).

Demikian pula di Aceh, terkenal nama di antaranya, Teungku Daud Beureu-eh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Teungku Hasballah Indrapuri, Ayah Hamid Namploh, Ali Hasyimi, Husen Al-Mujahid, M. Nur El-Ibrahimy dan sejumlah nama lainnya yang tidak mungkin semuanya disenaraikan dalam tulisan ini, adalah tokoh-tokoh yang (dalam banyak hal) tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Wahabi.

0 komentar:

Contact

Kontak Kami

Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah BMH tetap berkhidmat bersama Ummat - WA 0851.0471.7000

Alamat:

Jalan Sidomakmur 15 Sengkaling Dau Malang

Jam Kerja:

Senin sampai Jumat pUkul 08.00 hingga 16.30

Phone:

0851.0471.7000

Recent Comments

Recent Posts